MANADO — pelopormedia.com — Menanggapi Putusan MA, aktivis Deddy Loing menegaskan bahwa “Rektor Unsrat harusnya capat mengambil tindakan untuk menggantikan Dekan FK yang sudah melebihi batas usai
Keputusan Mahkamah Agung (MA) dengan Nomor 258 K/TUN/2024 yang seharusnya menjadi titik terang dalam sengketa tata usaha negara antara pihak Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) dan pihak lainnya, tampaknya tidak berpengaruh apa-apa bagi Rektor dan Dekan Fakultas Kedokteran Unsrat.
Aktivis Deddy Loing, menegaskan bahwa Rektor Unsrat seharusnya segera mengambil langkah tegas.
“Rektor Unsrat harusnya cepat bertindak untuk menggantikan Dekan Fakultas Kedokteran yang sudah melebihi batas usia setelah keputusan MA.
Ini soal integritas institusi,” tegasnya.
Loing juga menyoroti bahwa tindakan Rektor yang lamban dapat semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap integritas akademis Unsrat sebagai lembaga pendidikan tinggi.
Menurutnya, dalam organisasi yang sehat, putusan pengadilan harus diikuti dengan evaluasi dan pertanggungjawaban dari pejabat terkait.
Ironisnya, meski keputusan MA ini menjadi babak penting dalam penyelesaian sengketa tersebut, Dekan Fakultas Kedokteran masih terlihat nyaman dalam jabatannya.
Situasi ini memunculkan spekulasi adanya budaya “kekebalan” di kalangan elit akademis Unsrat, di mana pejabat tetap dilindungi meskipun terbukti melakukan pelanggaran.
Spekulasi semakin mencuat di kalangan publik mengenai adanya praktik-praktik tidak transparan di balik layar.
“Kalau keputusan Mahkamah Agung saja tidak digubris, apalagi yang bisa dilakukan untuk mengubah situasi ini?” tambah Loing.
Dekan Fakultas Kedokteran, yang sejak awal diduga terlibat dalam permasalahan ini, tetap mempertahankan posisinya seolah tak terpengaruh oleh hasil keputusan pengadilan.
Publik tentu bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang pejabat tetap memegang jabatannya setelah keputusan MA menyatakan ketidakberpihakan hukum di pihak mereka?
Mengapa pihak universitas tampak acuh terhadap implikasi putusan ini? Padahal, dalam organisasi yang sehat, keputusan pengadilan semestinya diikuti dengan evaluasi dan pertanggungjawaban dari pihak-pihak terkait.
Fenomena ini memperlihatkan lemahnya penegakan hukum di dalam institusi pendidikan tinggi seperti Unsrat.
Dekan Fakultas Kedokteran yang seharusnya terikat oleh prinsip moral dan etika, sepertinya justru “dilindungi” dari dampak hukum yang jelas.
Apakah ini cerminan dari “budaya kekebalan” di kalangan elit akademis?
Tak hanya itu, kasus ini juga menimbulkan spekulasi di masyarakat mengenai adanya kemungkinan praktik-praktik yang tidak transparan di balik layar.
Jika keputusan Mahkamah Agung saja tidak dapat menggoyahkan posisi seorang dekan, lalu apa lagi yang bisa?
Kepercayaan publik terhadap integritas akademis Unsrat bisa saja semakin terkikis jika tidak ada tindakan tegas dari pimpinan universitas.
Saat ini, Dekan Fakultas Kedokteran Unsrat masih terlihat “duduk manis” di kursi jabatannya, sementara keputusan MA seolah tidak ada artinya.
Pertanyaan yang mengemuka, apakah kampus sebesar Unsrat benar-benar menjunjung tinggi hukum dan keadilan, atau hanya berpura-pura saat berhadapan dengan masalah internal?
Konfirmasi yang dilakukanmedia melalui pesan dan telepon Whats app kepada humas Universitas Samratulangi Max Rembang telah beberapa kali dilakukan namun hingga berita ini tayang tidak pernah di respon.**(tim)