Sulut – pelopormedia.com – Sejak Viral di medsos serta pemberitaan online dimana Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara telah menetapkan lima tersangka dalam kasus korupsi pembebasan lahan parkir RSUD Maria Walanda Maramis menimbulkan pro dan kontra yang bermuara kepada penanganan kasus yang dianggap tembang pilih bahkan terkesan ” skenario ”
Aktivis anti korupsi, Deddy Loing, mengungkapkan kekhawatiran akan dugaan pola yang sering terulang dalam kasus korupsi, di mana aparatur sipil negara (ASN) kerap menjadi kambing hitam, sementara Eksekutif dan Legislatif, sebagai sistem pengawasan, jarang tersentuh.
Deddy Loing menyoroti bahwa pengawasan terhadap penggunaan anggaran publik seharusnya melibatkan semua pihak yang terlibat, bukan hanya ASN.
Kasus ini juga membuka ruang diskusi tentang peran legislatif dalam mengawasi penggunaan anggaran publik.
Salah satu contoh yang diperdebatkan adalah keterlibatan Ketua DPRD Minahasa Utara (Minut), inisial DL, dalam menyetujui anggaran senilai Rp. 20 miliar untuk membayar lahan RSUD Maria Walanda Maramis.
Lebih lanjut Loing mempertanyakan tentang status hukum DL dan tanggung jawabnya dalam keputusan pengeluaran anggaran tersebut.
Tindakan DL menyetujui anggaran tersebut masuk dalam dugaan turut serta secara bersama sama melakukan sesuatu yang sifatnya merugikan negara sehingga unsur Tindak Pidana Korupsi kental di dalamnya, pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan dalam pengelolaan keuangan publik belum terlihat pada kasus ini
Seharusnya keterbukaan, pertanggungjawaban, dan transparansi harus menjadi pilar utama dalam pengelolaan keuangan publik, demi menjaga integritas dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan lembaga legislatif.
Loing menambahkan harus ada penyelidikan kembali terkait kasus ini karena masyarakat melihat,mendengar dan paham regulasi terkait penegakan hukum, ucapnya Rabu,(24/4/2024).**(red)