SULUT — pelopormedia.com — Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara kembali menunjukkan komitmennya dalam menerapkan keadilan restoratif dengan menghentikan penuntutan tiga perkara pidana, termasuk kasus pengancaman yang melibatkan Marson Londorang dari Kejaksaan Negeri Kepulauan Talaud.
Kasus ini bermula ketika Marson Londorang, dalam keadaan mabuk, mengancam akan membunuh Laban Salibana, korban yang saat itu berada di rumahnya.
Tersangka, yang datang sebanyak tiga kali dengan membawa pisau, terus mengancam korban dan keluarganya.
Meski begitu, tidak ada tindakan kekerasan yang terjadi, dan akhirnya Londorang pergi setelah tidak mendapat respons dari keluarga korban.
Dalam proses perdamaian yang dilakukan, tersangka mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada korban.
Korban pun dengan tulus memaafkan, dan sebagai bagian dari pemulihan, tersangka telah mengembalikan sepeda motor milik korban yang sebelumnya ia ambil.
Berdasarkan kesepakatan damai tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Kepulauan Talaud mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Setelah mempelajari kasus tersebut, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, Dr. Transiswara Adhi, S.H., M.Hum., menyetujui penghentian penuntutan ini.
“Kami mendukung upaya perdamaian yang telah dilakukan dan sependapat untuk menghentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Hal ini sejalan dengan upaya kami untuk memberikan keadilan yang lebih manusiawi dan memperhatikan kepentingan semua pihak,” ujarnya.
Penghentian penuntutan ini disetujui oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, S.H., M.H., dan Direktur Oharda, Nanang Ibrahim Soleh, S.H., M.H., dalam ekspose yang dilakukan secara virtual bersama dengan dua perkara lainnya.
Dua perkara lainnya yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif adalah:
1. Tersangka Stevina Langelo dari Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan, yang didakwa melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP atas tindak pidana penganiayaan.
2. Tersangka Marselino Karamoy dari Kejaksaan Negeri Bitung, yang juga didakwa melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP atas tindak pidana penganiayaan.
Keputusan penghentian penuntutan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, di antaranya bahwa para tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana yang dikenakan tidak lebih dari lima tahun, serta adanya penyesalan dan kesediaan dari tersangka untuk tidak mengulangi perbuatannya di masa depan.
Selain itu, upaya perdamaian telah dilakukan dengan baik di hadapan Penuntut Umum dan saksi-saksi, serta para tersangka telah memberikan kompensasi yang layak kepada korban.
Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, Dr. Andi Muhammad Taufik, S.H., M.H., CGCAE, yang memimpin ekspose perkara ini menyatakan bahwa penerapan keadilan restoratif adalah bentuk penyelesaian perkara yang lebih mengedepankan pemulihan hubungan antara pelaku dan korban, serta menjaga keharmonisan sosial di masyarakat.
“Kami berharap langkah ini dapat menjadi contoh bahwa keadilan tidak selalu harus menghukum, tetapi juga dapat memberikan kesempatan bagi mereka yang bersalah untuk memperbaiki diri dan memberikan manfaat bagi masyarakat,” tutup Dr. Andi Muhammad Taufik.