Sulawesi Utara – Pelopormedia.com – Sejumlah kasus dugaan korupsi yang ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Utara terkesan redup sehingga menimbulkan kekhawatiran akan adanya intervensi dari Kejaksaan Agung (Kejagung), yang diduga tidak menginginkan perkara-perkara tersebut berakhir di lembaga peradilan. Pemerhati masalah korupsi dan mafia tanah, Mario, mengungkapkan bahwa beberapa perkara mandek di lembaga peradilan negara karena faktor kedekatan antara oknum-oknum di Kejagung dengan petinggi atau pejabat tertentu di pemerintahan Sulut.
“Khusus perkara-perkara di Sulut, terutama korupsi, sudah jelas siapa aktor dan dalangnya. Sebagai partai penguasa, tentu dengan mudahnya memerintah kasus-kasus seperti itu tidak dilanjutkan atau dihentikan penyelidikannya,” ujar Mario kepada wartawan.
Menurut Mario, dihentikannya kasus-kasus korupsi di Sulut dapat dikaitkan dengan intervensi dari oknum penguasa partai politik (Parpol), yang mampu membayar setiap penyidik penegak hukum. Keadaan ini menimbulkan ketidakmampuan daerah dan penegak hukum untuk menyelamatkan uang negara, membuka peluang terus merajalelanya korupsi tanpa takut dihakimi.
Faktor lain yang memperparah kondisi adalah sistem keuangan parpol tertentu yang kabarnya dikuasai oleh oknum pengurusnya. Sistem ini, katanya, tidak terbatas oleh Undang-Undang (UU), menciptakan ruang gerak yang lebih luas bagi tindakan korupsi. Mario menegaskan bahwa demokrasi Indonesia memerlukan pembatasan kewenangan dan aturan bagi partai politik untuk mencegah korupsi terus berkembang.
“Sistem ini membuat korupsi di Indonesia, khususnya di Sulawesi Utara, terus bertumbuh subur menggurita,” tegasnya.
Dalam menjawab pertanyaan apakah korupsi di Indonesia dapat diberantas, Mario menyatakan bahwa hal ini memungkinkan jika semua pemangku kepentingan mau taat hukum, bersikap jujur, dan tegas dalam menangani perkara-perkara yang merugikan keuangan negara. Ia menyoroti kekuatan politik yang sulit diakali, di mana orang-orang yang ditempatkan di lembaga hukum memiliki kekuatan politik yang sudah mengakar, menciptakan kompromi hukum dan tekanan terhadap penegak hukum.
Situasi ini memaksa penegak hukum untuk melaksanakan kehendak penguasa demi mempertahankan jabatan mereka. Oleh karena itu, Mario menekankan perlunya upaya serius dari semua pihak untuk memastikan independensi lembaga hukum dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip hukum sebagai langkah krusial dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.**(IC)