Manado — pelopormedia.com — Kondisi di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) kian memprihatinkan.
Salah seorang dosen yang enggan disebutkan namanya membeberkan fakta mengejutkan tentang carut-marutnya tata kelola program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), khususnya di bagian Penyakit Dalam, yang kini tengah menghadapi berbagai masalah serius.
Permasalahan bermula dari sanksi yang dijatuhkan Menteri Kesehatan terhadap bagian Penyakit Dalam, sehingga mahasiswa PPDS tidak lagi diizinkan menjalani pendidikan klinis di RSUP Prof. Kandou, rumah sakit vertikal Kemenkes.
Akibatnya, peserta PPDS dialihkan ke RS ODSK. Namun, alih-alih menyelesaikan masalah, kebijakan tersebut justru memperburuk situasi.
“Mahasiswa PPDS tidak dapat berpraktik di RS ODSK karena Menteri Kesehatan tidak menerbitkan Surat Izin Praktek (SIP).
Mereka hanya mendapatkan kuliah umum tanpa praktik klinis.
Bagaimana mereka bisa memenuhi kompetensi sebagai dokter spesialis?” ujar sumber tersebut.
Ironisnya, meski menyadari masalah ini, pihak fakultas justru tetap membuka penerimaan mahasiswa baru untuk PPDS Penyakit Dalam.
“Padahal mahasiswa yang masuk semester lalu saja belum mendapatkan pendidikan yang layak.
Ini jelas merugikan mereka secara akademik maupun finansial,” tambahnya.
Masalah ini diperparah dengan rangkap jabatan Rektor Unsrat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Dekan Fakultas Kedokteran setelah memecat Nova sebagai dekan sebelumnya.
Keputusan rektor dianggap tidak bijak dan justru semakin menunjukkan lemahnya tata kelola di fakultas tersebut.
Tak hanya itu, program PPDS Jantung dan Pembuluh Darah juga disorot karena menerima mahasiswa baru meskipun jumlah dosen aktif hanya tiga orang, jauh dari rasio ideal.
“Kenapa tetap memaksakan menerima mahasiswa? Apakah ada dugaan pungli dalam penerimaan ini?” ucap sumber tersebut.
Rumor pungutan liar dalam penerimaan PPDS memang sudah lama terdengar, dan situasi ini semakin memperburuk kepercayaan terhadap pimpinan fakultas.
Kesalahan dalam penanganan masalah PPDS tidak hanya berdampak akademik, tetapi juga psikologis.
Bahkan beberapa mahasiswa PPDS disalah satu universitas di Indonesia dilaporkan mengalami tekanan mental serius, bahkan ada kasus bunuh diri yang mencuat akibat dugaan ‘bullying’. “Kita berharap kejadian tersebut tidak terjadi di Unsrat,” tegas sumber tersebut.
Yang lebih mengecewakan, saat Kemenkes dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menggelar pertemuan penting untuk membahas pendidikan PPDS, pihak Fakultas Kedokteran Unsrat tidak hadir.
“Apakah ini bentuk pembiaran oleh pimpinan universitas?” tambahnya.
Kisruh jelas menimbulkan pertanyaan besar, apakah lulusan PPDS Unsrat periode ini bisa memenuhi kompetensi seperti standar normal sebelumnya?
Atau justru pendidikan yang amburadul ini akan mencoreng nama baik Fakultas Kedokteran Unsrat di mata nasional?
Masyarakat, dosen, mahasiswa, hingga alumni mendesak transparansi dan tindakan tegas dari pimpinan universitas untuk menyelesaikan masalah ini sebelum semuanya semakin parah.
Konfirmasi yang dilakukan kepada pihak terkait humas Universitas Samratulangi hingga berita ini tayang belum memberikan keterangan resmi terkait tudingan ini.**(red)